Header Ads

Koto Rajo, Pemukiman Tertua di Lima Puluh Kota yang Terlupakan ??

loading...
loading...

Dalam rimbunnya semak belukar yang kian hari kian menyepi dalam keheningan rimba belantara Jorong Ateh, Nagari Ladang Loweh, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Limapuluh Kota, tak dinyana oleh banyak orang akan menyimpan misteri sejarah penting Minangkabau di Luak Limopuluah. Hanya sekelumit tetua kampung daerah sekitar yang tahu letak aset sejarah berharga ini, yaitu Koto Rajo. Kawasan yang berpotensi menjadi cagar budaya penuh makna nan dalam di perbatasan Luak nan Bungsu dengan Luak nan Tuo tersebut seakan mati dari ingatan.
Tak mudah ditempuh, tak mudah bersua, dan tak dapat ditemui dalam peta wisata, itu lah kondisi Koto Rajo hingga kini. Tempat yang diyakini sebagai lokasi awal bermukimnya nenek moyang masyarakat Luak nan Bungsu itu hanya dapat ditemui dengan melewati pesawahan, perkebunan, liarnya rimba, dan menyeberangi sungai-sungai. Menempuh perjalanan tanpa panduan masyarakat sekitar yang tahu, sama saja dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami, bahkan besar kemungkinan akan tersesat. Tentu saja prinsip malu bertanya sesat dijalan tak lagi berlaku dalam hutan.
 Berdasarkan tambo, Koto Rajo bukanlah tempat persinggahan. Koto Rajo pun tertera dalam Barih Balabeh Luak Limopuluah. “Bajonjang ka Ladang Laweh, bapintu ka Sungai Patai. Indak ka mungkin kusuik indak salasai, ujuang jo pangka nan tak jaleh. Bajonjang juo ka Sungai Potai, batu sandaran di Koto Rajo, kok iyo kusuik kadisalosaian, ujuang jo pangka nan lah basuo”, begitu bunyi petitih yang bermakna bahwa dulunya Koto Rajo adalah tempat untuk menyelesaikan masalah-masalah pelik, yaitu dengan berunding.
Kotanya Raja, itulah arti dari Koto Rajo. Sisa-sisa dari kabar yang ada menceritakan bahwa Koto Rajo merupakan pemukiman tertua di Luak Limopuluah. Dulu kala menjadi daerah tempat berdiam seorang raja muda asal Pagaruyuang dalam memantau wilayah kekuasaannya.
Sebuah rumah gadang yang berdiri tegak tentu ada yang membangunnya, dan jelas pernah menjadi sebuah tempat bermukim suatu kaum. Begitu pula dengan Rumah Gadang di Koto Rajo yang kian lapuk, seolah ingin mempertahankan sisa-sisa kisah sejarah meski sudah penuh akan misteri.
Sembilan buah batu yang tersusun anggun di halaman rumah gadang Koto Rajo seakan turut berjuang mempertahankan sisa cerita masa lalu. Setiap batu besar berlapis yang disebut masyarakat  dengan nama batu dorong-dorong ini terdiri dari sebuah tempat duduk berikut sandarannya, susunan batu tersebut dinamakan batu Kadudukan Rajo. Kesembilan batu ini disusun tiga berjajar membelakangi Gunung Sago dengan jarak masing-masingnya kisaran 1 meter. Tempat duduk dari batu ini diletakkan di atas tanah dengan besarnya berkisar 45 x 35 sentimeter, dan sandaran dengan ukuran yang hampir sama tertancap di tanah sehingga menjadi sebentuk kursi tanpa kaki.
Tiga batu lainnya berjajar dengan jarak 1,5 meter menghadap selatan. Sedangkan di bawah sebuah batang beringin terdapat satu batu yang lebih tinggi dan lebih besar dibandingkan yang lain, batu ini dinamakan Batu Sandaran Rajo. Menurut kisah yang dituturkan Syahrul Erman sebagai pemangku soko ke-11 Datuak Parpatiah nan Sabatang dalam media sosial Facebook, beringin besar yang menaungi Batu Sandaran Rajo ini tumbang pada tanggal 28 Februari 2007 tepat di saat Istano Pagaruyuang terbakar.
Beliau juga menceritakan, rumah gadang di Koto Rajo ini dibangun antara tahun 1816-1821 setelah peristiwa Koto Tangah tahun 1815, yaitu peristiwa pembunuhan keluarga Raja di Pagaruyuang. Namun sebagian keluarga raja yang selamat melarikan diri ke Koto Rajo.
Balai adat nagari, mesjid, dan beberapa rumah gadang lain lengkap dengan lesung batunya juga masih terdapat di sebelah timur Koto Rajo, melintasi lembah yang sedikit mendaki dalam jarak sekitar 700 meter. Meski tak lagi berpenghuni, salah satunya bahkan tampak masih utuh. Semua temuan ini adalah suatu pertanda bahwa dulu daerah ini menjadi perkampungan penduduk yang menjadi koto atau nagari. Bahkan kemungkinannya Koto Rajo adalah perkampungan pertama Nagari Ladang Loweh. Disebabkan syarat keberadaan suatu koto dalam barih balabeh adalah babalai bamusajik, basuku banagari, bakorong bakampuang, bahuma babendang, basawah baladang, bahalaman bapamedanan, jo bapandam pakuburan. Dan semua ini masih dapat ditemukan di Koto Rajo.
Hingga masa perang PRRI 1958, mesjid ini masih dipergunakan masyarakat untuk shalat Jumat. Dengan kata lain, pada masa itu masyarakat masih cukup ramai di sekitaran Koto Rajo. Dari informasi yang dipaparkan Sumir Husin Datuak Mangkuto Nan Panjang, mantan Wali Nagari Situjuah Ladang Laweh tahun 2008, juga diketahui bahwa setiap suku di Situjuah Ladang Loweh memiliki pusako seperti tasapan jerami, ladang, dan perumahan di area Koto Rajo. Diantaranya Suku IX Koto Piliang dengan Datuak Rajo Mangkuto sebagai kaampek sukunya, lalu Suku IV Niniak Pitopang dengan Datuak Paduko Sindo, Suku IV Paruik Malayu dengan Datuak Lelo Anso, dan Suku  VI Jurai Chaniago dengan Datuak Sinaro Kayo.
Dalam kisah yang disampaikannya, Koto Rajo berasal dari Kato Rajo atau Kata Raja. Bermula dari kedatangan pesan Raja Sutan Alam Bagagarsyah setelah diangkat menjadi Regen Tanah Datar oleh Belanda yang ingin datang untuk melihat keluarganya, maka dibentuklah persiapan penyambutan dengan membuat Batu Kadudukan Rajo.
Tak banyak yang tahu akan kedatangan Sutan Alam Bagagarsyah karena penduduk telah berpindah ke Ladang Laweh disebabkan perang. Hanya seorang Ninik Mamak yaitu Datuak Jangguik Omeh yang hadir. Sutan Alam Bagagarsyah memberikan titah padanya dan juga payung panji kuning emas, keris, serta pakaian kebesaran. Setelahnya, Datuak Jangguik Omeh menyebarkan kabar ke niniak mamak Situjuah Ladang Loweh dan menyatakan diri sebagai Wakil Raja Sutan Alam Bagagarsyah dari Pagaruyuang. Dan semenjak itulah daerah tersebut dinamakan Koto Rajo yang berasal dari kata “Kato Rajo”.
Dengan melalui jalan setapak, di bagian Selatan dari Koto Rajo maka akan sampai ke Sungai Patai, Kecamatan Tanjuang Sungayang Kabupaten Tanah Datar. “Bapintu ka Ladang Loweh bajanjang ka Sungai Patai”, begitulah ungkapan yang hingga kini masih bertahan dalam masyarakat.
Keberadaan Koto Rajo kini telah lekang oleh zaman, telah lapuk oleh arus waktu, dan mendekam dalam bilik kesendirian. Berada dalam kesenyapan menjadikan Koto Rajo bak emas dalam timbunan tanah. Memang tak terganggu dan tak dirusak, namun tiada yang tahu hakikat nilainya sebagai khazanah. Sumber AET
loading...

No comments