TAFSIR AL HUJURAAT AYAT 1 - 11
loading...
loading...
Tafsir
Al Hujuraat Ayat 1-11
Surah Al Hujuraat (Kamar-Kamar)
Surah ke-49. 18 ayat. Madaniyyah
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang.
Ayat 1-5: Tatakrama terhadap
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (١) يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ
أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ (٢) إِنَّ الَّذِينَ يَغُضُّونَ
أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أُولَئِكَ الَّذِينَ امْتَحَنَ اللَّهُ
قُلُوبَهُمْ لِلتَّقْوَى لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ عَظِيمٌ (٣) إِنَّ الَّذِينَ
يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ (٤) وَلَوْ
أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ (٥)
Terjemah Surat Al Hujuraat Ayat 1-5
1. [1]
[2]Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya[3],
dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Mendengar[4]
lagi Maha Mengetahui[5].
2. [6]
[7]Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu[8]
melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras,
sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala)
segala amalmu bisa terhapus[9]
sedangkan kamu tidak menyadari.
3. [10]Sesungguhnya
orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah
orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan
memperoleh ampunan dan pahala yang besar.
4. [11]Sesungguhnya
orang-orang yang memanggil engkau (Muhamad) dari luar kamar(mu) kebanyakan
mereka tidak mengerti.
5. Dan jika sekiranya mereka
bersabar sampai kamu keluar menemui mereka. Sesungguhnya hal itu lebih baik
bagi mereka. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang[12].
Ayat
6-8: Bagaimana menghadapi berita yang dibawa orang fasik, pentingnya tatsabbut
(meneliti) dalam menukil berita, berhati-hati terhadapnya karena berakibat
memfitnahnya, selalu taat kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan
penanaman rasa cinta kepada keimanan di hati kaum mukmin.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ
فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا
فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (٦) وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ
يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الأمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ
إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ
وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (٧) فَضْلا مِنَ
اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (٨)
Terjemah Surat Al Hujuraat Ayat 6-8
6. [13]Wahai
orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa
suatu berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu
kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu
itu.
7. [14]Dan
ketahuilah olehmu bahwa di tengah-tengah kamu ada Rasulullah[15],
kalau dia menuruti kemauan kamu dalam banyak hal[16],
pasti kamu akan mendapat kesusahan[17].
Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan iman itu
indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan,
dan kedurhakaan. Mereka[18]
itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus[19],
Ayat 9-11: Asas-asas untuk tegaknya
masyarakat Islam, yaitu mendamaikan kedua golongan kaum muslimin yang
bertenkar, saling cinta satu sama lain dan tidak saling menghina.
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي
تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (٩)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا
اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (١٠) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ
قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ
نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلا
تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ وَمَنْ لَمْ
يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (١١)
Terjemah Surat Al Hujuraat Ayat 9-11
9. [22]
[23]Dan
apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara
keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang
lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu,
kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah
Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil[24].
Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil[25].
10. Sesungguhnya orang-orang mukmin
itu bersaudara[26],
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan [27]bertakwalah
kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.
11. [28]Wahai
orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain,
(karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka
(yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olokkan
perempuan lain, (karena) boleh jadi yang diperolok-olokkan lebih baik (dari
perempuan yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dirimu[29]
dan [30]janganlah
saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk[31].
Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman[32].
Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim[33].
[1] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai
kepada Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Abdullah bin Az Zubair memberitahukan mereka,
bahwa ada rombongan orang dari Bani Tamim datang kepada Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, lalu Abu Bakar berkata, “Angkatlah Qa’qa’ bin Ma’bad bin
Zurarah.” Lalu Umar berkata, “Bahkan, angkatlah Aqra’ bin Habis.” Abu Bakar
berkata, “Engkau tidak menginginkan selain menyelisihiku.” Umar menjawab, “Aku
tidak bermaksud menyelisihimu.” Maka keduanya berbantah-bantahan sampai
suaranya keras, kemudian turunlah tentang hal itu ayat, “Wahai orang-orang
yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya…dst.”
[2] Syaikh As Sa’diy menerangkan, “Ayat ini mengandung adab
terhadap Allah Ta’ala dan adab terhadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam, membesarkan Beliau, menghormatinya dan memuliakannya. Maka Allah
memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin sesuatu yang menjadi konsekwensi
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu mengikuti perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, dan agar mereka berjalan di belakang perintah Allah sambil
mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam semua urusan
mereka. Demikian pula agar mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya, tidak
berkata sampai Beliau berkata, dan tidak memerintahkan sampai Beliau
memerintahkan. Inilah hakikat adab yang wajib terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan
ini merupakan tanda kebahagiaan seorang hamba dan keberuntungannya, dan jika
hilang, maka hilanglah kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal. Dalam
ayat ini terdapat larangan yang keras mendahulukan ucapan selain Rasul
shallallahu 'alaihi wa sallam di atas ucapan Beliau. Oleh karena itu, kapan
saja jelas sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka wajib diikuti
dan didahulukan di atas yang lainnya siapa pun dia. Selanjutnya Allah
memerintahkan untuk bertakwa kepada-Nya secara umum, yaitu sebagaimana yang
dikatakan Thalq bin Habib (tentang takwa), “Kamu mengerjakan ketaatan kepada
Allah di atas cahaya dari Allah dan kamu mengharapkan pahala Allah. Demikian
pula kamu menjauhi durhaka kepada Allah di atas cahaya dari Allah sambil takut
kepada siksaan Allah.”
[3] Maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu
hukum, sebelum ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya.
[5] Baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang berlalu maupun
yang baru, yang mesti, mustahil maupun yang mungkin. Disebutkan kedua nama ini
“Samii’un ‘Aliim” setelah larangan mendahului Allah dan Rasul-Nya serta
perintah bertakwa kepada-Nya adalah untuk mendorong mengerjakan perkara-perkara
yang baik, adab yang indah serta menakut-nakuti agar tidak mendurhakai.
[6] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai
kepada Ibnu Abi Mulaikah ia berkata, “Hampir saja dua orang yang dipilih
membuat Abu Bakar dan Umar binasa radhiyallahu 'anhuma, keduanya mengeraskan
suaranya di hadapan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika rombongan dari
Bani Tamim datang kepada Beliau, lalu yang satu menunjuk Aqra’ bin Habis
saudara Bani Mujaasyi’, sedangkan yang satu lagi menunjuk yang lain. Nafi’
(perawi hadits) berkata, “Saya tidak hapal namanya.” Lalu Abu Bakar berkata
kepada Umar, “Engkau tidak bermaksud selain menyelisihiku.” Umar menjawab, “Aku
tidak bermaksud menyelisihimu.” Suara keduanya pun semakin keras dalam hal itu,
maka Allah Ta’ala menurunkan ayat, “Wahai orang-orang yang beriman!
Janganlah kamu meninggikan suaramu…dst.” Ibnuz Zubair berkata, “Maka Umar
tidak lagi memperdengarkan (mengeraskan suaranya) kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam setelah ayat ini, sampai Beliau meminta kejelasan
(kata-katanya).” Ia tidak menyebutkan hal itu dari bapaknya, yakni Abu Bakar
(Abdullah bin Abi Mulaikah atau Abdullah bin Az Zubair, tidak menyebutkan dari
bapaknya yang tergolong sahabat).” (Syaikh Muqbil menjelaskan, hadits ini
diriwayatkan pula oleh Tirmidzi juz 4 hal. 185, dan di sana disebutkan secara
tegas bahwa Abdullah bin Abi Mulaikah diceritakan oleh Abdullah bin Az Zubair,
dan ia (Tirmidzi) menghasankannya. Demikian pula diriwayatkan oleh Ahmad juz 4
hal. 6, Thabrani juz 26 hal. 119, di sana disebutkan ucapan Nafi’, bahwa Ibnu
Abi Mulaikan telah menceritakan kepadanya dari Ibnuz Zubair, sehingga diketahui
bersambungnya hadits ini sebagaimana diisyaratkan oleh Al Haafizh dalam Al
Fat-h juz 10 hal. 212).
[7] Ayat ini merupakan adab terhadap Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam dalam berbicara dengan Beliau, yakni janganlah orang yang
berbicara dengan Beliau meninggikan suaranya di atas suara Beliau, demikian
pula jangan mengeraskan suara kepada Beliau, bahkan harus merendahkan suaranya,
berbicara kepadanya dengan sopan dan lembut, dengan memuliakan dan menghormati
serta mengagungkan, dan agar jangan menganggap Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam seperti kawan sesama mereka, bahkan mereka harus membedakan Beliau
dalam berbicara sebagaimana Beliau harus dibedakan daripada yang lain tentang
haknya yang wajib dilakukan oleh umat Beliau, dan wajibnya beriman kepada
Beliau serta mencintai Beliau. Hal itu, karena jika tidak melakukan adab
tersebut terdapat bahaya dan dikhawatirkan akan hapus amal seorang hamba tanpa
disadarinya. Sebaliknya, beradab dengan Beliau termasuk sebab memperoleh pahala
dan diterimanya amal.
[9] Meninggikan suara lebih dari suara Nabi atau berbicara
keras terhadap Nabi adalah suatu perbuatan yang menyakiti Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, dilarang melakukannya dan dapat menyebabkan
hapusnya amal perbuatan.
[10] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memuji orang yang
merendahkan suaranya di hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu
bahwa Allah menguji hati mereka untuk bertakwa, sehingga jelaslah keadaannya,
yaitu menjadi cocoknya hati mereka untuk bertakwa. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
juga menjanjikan untuk mereka itu ampunan yang di dalamnya mengandung
penyingkiran terhadap keburukan dan hal yang tidak diinginkan, serta pahala
yang besar yang tidak diketahui sifatnya kecuali oleh Allah Ta’ala, dan dalam
pahala yang besar itu terdapat hal yang dicintai hamba. Dalam ayat ini terdapat
dalil bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala menguji hati manusia dengan perintah,
larangan dan cobaan-cobaan, maka barang siapa yang tetap mengerjakan perintah
Allah dan mengikuti keridhaan-Nya serta bersegera kepadanya dan mendahulukannya
di atas keinginan hawa nafsunya, maka menjadi bersih dan sucilah hati tersebut
sehingga bisa bertakwa. Jika tidak demikian, maka dapat diketahui, bahwa
hatinya tidak cocok untuk bertakwa.
[11] Diterangkan dalam Tafsir Al Jalaalain, bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan orang-orang yang datang di siang hari, sedangkan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam rumahnya, lalu mereka memanggilnya.
Syaikh As Sa’diy berkata, “Beberapa ayat yang mulia ini (ayat 4 dan 5) turun
berkenaan dengan beberapa orang Arab badui yang Allah Ta’ala sifati mereka
dengan sifat kasar, dan bahwa mereka pantas tidak mengetahui batasan-batasan
yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya. Mereka datang kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai utusan, lalu mereka mendapati Beliau
berada dalam rumahnya dan di kamar istrinya. Mereka pun tidak sabar sampai
Beliau keluar dan tidak memiliki sopan santun, bahkan memanggil, “Wahai
Muhammad, wahai Muhammad!” maksudnya, keluarlah menghadap kami. Maka Allah
mencela mereka dengan tidak mengerti, dimana mereka tidak mengerti adab dari
Allah terhadap Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dan tentang
menghormatinya, sebagaimana termasuk berakal dan menjadi tandanya adalah
mempraktekkan sopan santun. Oleh karena itu, beradabnya seorang hamba merupakan
tanda berakalnya dan bahwa Allah menginginkan kebaikan padanya. Maka dari itu,
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman, “Dan sekiranya mereka bersabar sampai
engkau keluar menemui mereka, tentu akan lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[12] Dia mengampuni dosa yang muncul dari hamba-Nya dan sikap
kurang adabnya, serta Maha Penyayang kepada mereka, dimana Dia tidak segera
menyiksa mereka karena dosa-dosa mereka.
[13] Ayat ini juga sama menerangkan adab yang harus diperhatikan
oleh orang-orang yang berakal, yaitu apabila ada orang fasik yang
memberitahukan kepada mereka suatu berita, maka hendaknya mereka menelitinya
dan tidak langsung menerima beritanya, karena jika demikian terdapat bahaya
yang besar dan terjatuh ke dalam dosa. Hal itu karena jika berita orang fasik
menempati posisi berita orang yang yang benar lagi adil sehingga dibenarkan dan
dilanjutkan konsekwensinya tentu akan menimbulkan bahaya, seperti binasanya
jiwa dan harta tanpa alasan yang benar sehingga membuat seseorang menyesal.
Oleh karena itu, yang wajib dalam menerima berita orang fasik adalah tatsabbut
(meneliti), jika ada dalil dan qarinah (tanda) yang menunjukkan kebenarannya,
maka diberlakukan dan dibenarkan. Tetapi jika dalil dan qarinah menunjukkan
kedustaannya, maka didustakan dan tidak diberlakukan. Dalam ayat ini terdapat
dalil bahwa berita orang yang jujur adalah diterima dan bahwa berita orang yang
berdusta adalah ditolak, sedangkan berita orang fasik, maka tergantung dalil
dan qarinah. Oleh karena itulah, kaum salaf sampai menerima banyak riwayat dari
orang-orang Khawarij yang terkenal kejujurannya meskipun fasik, demikianlah
yang diterangkan oleh Syaikh As Sa’diy.
[14] Yakni hendaknya kamu tetap mengetahui, bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam masih berada di tengah-tengah kamu; dimana Beliau
adalah orang yang baik, mulia, cerdas dan menginginkan kebaikan bagi kamu,
sedangkan kamu menginginkan yang buruk bagimu yang Beliau tidak setuju
dengannya. Kalau sekiranya, Beliau menaati kamu dalam banyak hal, tentu yang
demikian akan memberatkan kamu dan menyusahkan kamu, akan tetapi Beliau
membimbing dan memilihkanyang terbaik bagimu. Dan Allah Ta’ala yang menjadikan
kamu cinta kepada keimanan dan menghiasinya di hati kamu. Dia telah menanamkan
ke dalam hatimu rasa cinta kepada kebenaran dan mengutamakannya, disamping Dia
telah menegakkan syahid (penguat) dan bukti yang menunjukkan kebenarannya, dan
siapnya hati serta fitrah untuk menerimanya. Demikian juga karena Dia telah
memberikan taufik kepada kamu untuk kembali kepada-Nya, dan karena Dia telah
membuat kamu benci kepada kekafiran dan kefasikan (dosa-dosa besar) serta kemaksiatan
(dosa-dosa kecil), Dia telah menanamkan rasa benci terhadapnya ke dalam hatimu,
tidak ada keinginan untuk melakukannya dan karena Dia telah menegakkan dalil
dan syahid yang menunjukkan kebatilannya, disamping itu, fitrah juga tidak mau
menerimanya.
[18] Yaitu orang-orang yang telah dihiasi (dijadikan indah) oleh
Allah keimanan dalam hatinya, dibuat cinta kepadanya, serta dibuat benci kepada
kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan.
[19] Yaitu mereka yang baik ilmu dan amalnya, tetap lurus di
atas agama dan jalan yang lurus. Kebalikan dari mereka adalah orang-orang yang
sesat, dimana Dia telah menjadikan mereka cinta kepada kekafiran, kefasikan dan
kemaksiatan serta menjadikan mereka benci kepada keimanan. Dosanya adalah dosa
mereka, karena ketika mereka berbuat fasik, maka Allah Subhaanahu wa Ta'aala
mengunci hati mereka sebagaimana firman-Nya, ”Wa lammaa zaaghu azaaghallahu
quluubahum” (ketika mereka menyimpang, maka Allah menyimpangkan hati
mereka), dan karena mereka tidak beriman kepada kebenaran saat ia datang pada
pertama kali, maka Allah balikkan hati mereka.
[20] Maksudnya, kebaikan yang diperoleh mereka adalah karena
karunia Allah dan ihsan-Nya kepada mereka, bukan karena usaha dan kekuatan
mereka.
[21] Dia mengetetahui siapa yang mensyukuri nikmat sehingga Dia
memberinya taufik dengan orang yang tidak mensyukurinya, sehingga Dia
meletakkan karunia-Nya sesuai kebijaksanaan-Nya.
[22] Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Anas radhiyallahu
'anhu ia berkata, “Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
“Sekiranya engkau mendatangi Abdullah bin Ubay.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam pergi mendatanginya dan menaiki keledai, dan kaum muslimin ikut pergi
berjalan bersama Beliau. Ketika itu, tanah yang dilewati adalah tanah yang
tidak menumbuhkan tanaman. Saat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
mendatanginya, maka Abdullah bin Ubay berkata, “Menjauhlah dariku. Demi Allah,
bau keledaimu telah menggangguku.” Lalu salah seorang Anshar di antara mereka
berkata, “Demi Allah, keledai Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lebih
wangi baunya daripada kamu.” Maka salah seorang dari kaum Abdullah (bin Ubay)
ada yang marah untuknya dan memakinya, sehingga masing-masing kawannya saling
marah. Ketika itu, antara keduanya saling pukul-memukul dengan pelepah kurma,
sandal, dan tangan. Lalu disampaikan kepada kami, bahwa telah turun ayat, “Dan
kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu
damaikan antara keduanya!” (Terj. Al Hujurat: 9)
[23] Ayat ini mengandung larangan berbuat zalim antara sesama
kaum mukmin dan larangan bagi mereka untuk saling berperang, dan bahwa jika di
antara dua golongan mukmin saling berperang, maka kaum mukmin yang lain harus
memadamkan keburukan besar ini dengan mendamaikan mereka dan bersikap
tengah-tengah secara sempurna sehingga terwujud perdamaian, dan hendaknya
mereka menempuh jalan yang mengarah kepadanya. Jika kedua golongan itu
berdamai, maka sangat baik sekali, tetapi jika salah satu dari keduanya
berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang
berbuat zalim itu sehingga golongan itu, kembali kepada perintah Allah, yaitu
kembali kepada ketetapan Allah dan Rasul-Nya berupa mengerjakan kebaikan dan
meninggalkan keburukan yang di antaranya adalah berperang.
[24] Ayat ini terdapat perintah untuk berdamai dan perintah
berlaku adil dalam shulh (perdamaian), karena terkadang shulh ada namun tidak
adil, bahkan dengan berlaku zalim atau memihak kepada salah satu di antara
kedua golongan. Jika demikian, maka bukanlah shulh yang diperintahkan, ia wajib
tidak memihak hanya karena hubungan kekerabatan, sesuku atau karena maksud dan
tujuan tertentu yang membuatnya menyimpang dari keadilan.
[25] Yaitu mereka yang adil dalam memberikan keputusan di antara
manusia dan dalam memimpin, bahkan termasuk pula adilnya seorang suami kepada
istri dan anaknya dalam memenuhi hak mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda:
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ
عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ
وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِى حُكْمِهِمْ
وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
“Sesungguhnya orang-orang yang adil
di sisi Alah berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya di sebelah kanan Ar
Rahman ‘Azza wa Jalla, dan kedua Tangan-Nya adalah kanan. Mereka itu adalah
orang-orang yang adil dalam memberikan keputusan, dalam bersikap kepada
keluarga mereka dan dalam hal yang mereka pimpin.” (HR. Muslim)
[26] Ini merupakan ikatan yang Allah ikat antara kaum mukmin,
yaitu apabila ada seseorang baik berada di timur maupun di barat bumi jika dia
beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari
Akhir serta beriman kepada qadar yang baik dan yang buruk, maka dia adalah
saudaranya, dimana hal ini menghendaki untuk diberikan sesuatu yang disukainya
sebagaimana ia suka mendapatkan hal itu serta tidak menyukai hal buruk
menimpanya sebagaimana dirinya tidak suka mendapatkannya. Oleh karena itu, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan melaksanakan hak keimanan, Beliau
bersabda:
لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا
تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ
وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا
يَظْلِمُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ وَلَا يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا وَيُشِيرُ
إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ
أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ
وَعِرْضُهُ
“Jangan kamu saling hasad, saling
najsy (menipu agar barang dagangan laku), saling marah, saling membelakangi dan
jangan kamu menjual barang yang sudah dijual oleh orang lain. Jadilah kamu
hamba-hamba Allah yang bersaudara. Orang muslim yang satu dengan lainnya adalah
bersaudara, tidak boleh dizalimi, ditelantarkan dan dihinakan. Takwa itu di
sini, -Beliau berisyarat ke dadanya- 3X, “Cukuplah seseorang telah melakukan
kejahatan kalau menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim adalah terpelihara
darahnya, hartanya dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
juga bersabda:
الْمُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin terhadap mukmin
lainnya seperti bangunan, dimana yang satu dengan yang lain saling menguatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Subhaanahu wa Ta'aala
memerintahkan Rasul-Nya untuk menegakkan hak-hak kaum mukmin yang satu dengan
yang lain dan memerintahkan sesuatu yang dengannya dapat terwujud rasa cinta
dan persatuan, di antaranya adalah apabila terjadi peperangan di antara mereka
yang dapat menimbulkan perpecahan dan kebencian, maka hendaknya kaum mukmin
mendamaikannya dan berusaha melakukan sesuatu yang dapat menghilangkan
kebencian di antara mereka.
[27] Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan untuk
bertakwa secara umum serta menerangkan hasil dari memenuhi hak kaum mukmin dan
bertakwa kepada Allah, yaitu mendapatkan rahmat sebagaimana firman-Nya di akhir
ayat. Apabila telah tercapai rahmat, maka akan tercapai kebaikan dunia dan
akhirat. Ayat ini juga menunjukkan, bahwa tidak memenuhi hak kaum mukmin
merupakan penghalang besar mendapatkan rahmat.
Kedua ayat di atas (ayat 9 dan 10)
terdapat beberapa faedah selain yang telah disebutkan di atas, yaitu:
- Berperang antara kaum mukmin
bertentangan dengan ukhuwwah (persaudaraan) seiman. Oleh karena itu, hal
tersebut termasuk dosa yang besar.
- Iman dan persaudaraan seiman
tidaklah hilang meskipun terjadi peperangan sebagaimana jika terjadi dosa-dosa
besar yang lain di bawah syirk.
- Wajibnya mendamaikan kaum mukmin
yang bertengkar dengan adil.
- Wajibnya memerangi pemberontak
agar mereka kembali kepada perintah Allah.
- Harta mereka adalah ma’shum
(terpelihara), karena Allah hanyalah membolehkan darah mereka ketika
berlangsungnya sikap zalim mereka saja, dan tidak harta mereka.
[28] Ayat ini juga menerangkan hak-hak kaum mukmin satu sama
lain, yaitu hendaknya sebagian mereka tidak mengolok-olok, baik dengan ucapan
maupun perbuatan yang menunjukkan penghinaan terhadap seorang muslim, karena
yang demikian haram, dan menunjukkan bahwa orang yang mengolok-olok merasa ujub
(bangga diri) dengan dirinya, padahal bisa saja yang diolok-olok itu lebih baik
daripada yang mengolok-olok sebagaimana seperti itu pada umumnya dan
kenyataannya. Hal itu, karena mengolok-olok tidaklah terjadi kecuali dari hati
yang penuh dengan akhlak yang buruk dan tercela. Oleh karena itulah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah seseorang telah melakukan
kejahatan kalau menghina saudaranya yang muslim.”
[29] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela
antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh. Mencela itu
bisa dengan ucapan dan bisa dengan perbuatan. Kedua-duanya adalah haram dan
diancam dengan neraka sebagaimana firman Allah, “Wailul likulli humazatil
lumazah.”
[30] Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada
Abu Jabirah bin Adh Dhahhak ia berkata, “Ada salah seorang di antara kami yang
memiliki dua nama atau tiga, lalu dipanggil dengan sebagiannya maka sepertinya
ia tidak suka, sehingga turunlah ayat ini, “Dan janganlah saling memanggil
dengan gelar-gelar yang buruk.” Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan
shahih.”
[31] Yakni janganlah salah seorang di antara kamu mencela
saudaranya dan menggelarinya dengan gelar yang buruk, dimana orang yang
digelari itu tidak suka jika disebut dengannya. Adapun gelar yang tidak
tercela, maka tidak termasuk dalam ayat ini.
[32] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh
orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan
panggilan, “Hai fasik, hai kafir” dan sebagainya.
[33] Inilah yang wajib dilakukan seorang hamba, yaitu bertobat
kepada Allah Ta’ala dan keluar dari hak saudaranya, yaitu dengan meminta
dihalalkan atau meminta dimaafkan, memujinya setelah mencelanya. Ayat ini
menerangkan bahwa manusia ada dua golongan; yaitu orang yang berbuat zalim
kepada dirinya dan orang yang bertobat, dan tidak ada yang ketiganya.
loading...
Post a Comment